Fokusberitabanten.co.id - Banten ternyata
memiliki beberapa kisah perjuangan rakyat yang revolusioner. Perlawanan petani
1888, pemberontakan kader komunis dan ulama tahun 1926, juga revolusi
sosial ditahun 1945-1946, adalah beberapa contoh kisah perlawanan rakyat yang
sangat jarang disebut dalam buku sejarah resmi versi negara.
Salah satu riwayat perlawanan rakyat yang
menarik dibahas adalah revolusi sosial ditahun 1945-1946. Revolusi ini meletus
dibeberapa kabupaten dan kota di daerah Banten, seperti Serang,
Pandeglang, Lebak dan Tangerang. Menariknya, revolusi ini memiliki pola yang
hampir mirip dengan revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917, yakni berbasiskan
kekuatan Dewan Rakyat.
Dewan
Rakyat atau Soviet
Pasca kegagalan pemberontakan komunis (PKI) dan
kelompok ulama ditahun 1926, situasi Banten bagaikan ‘api dalam sekam’.
Benih-benih kebencian tumbuh dihati rakyat, terutama di kalangan kaum
tani tertindas. Kebencian yang tidak hanya tertuju pada kolonial ‘kulit putih’,
tetapi juga kepada para pejabat pribumi pro kolonial. Para pejabat, seperti
Bupati atau Pamong Praja, selalu tunduk pada kehendak pihak kolonial, sekalipun
hal itu mengorbankan kepentingan rakyat.
Sementara dikalangan masyarakat Banten sendiri,
ada tiga kelompok yang berada digarda terdepan dalam aksi perlawanan terhadap
kolonial dan antek-anteknya. Kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok komunis
yang berhimpun dalam PKI, jawara dan ulama. Pada pemberontakan tahun 1926,
kelompok komunis dan ulama lah yang menjadi penggerak utamanya. Namun setelah
pemberontakan 1926 gagal, kelompok komunis pun mengalami kehancuran. Banyak
kader-kadernya yang dihukum mati atau dibuang ke Digul, dan sisanya melarikan
diri ke Semenanjung Malaya (Suharto, 2008).
Salah satu tokoh terkemuka dari PKI di daerah
Banten yang turut melarikan diri ke Malaya adalah Tje Mamat. Beliau merupakan
Sekretaris PKI cabang Anyer. Kelak, tokoh inilah yang menjadi pimpinan Dewan
Rakyat ketika revolusi sosial tahun 1945-1946.
Di akhir dekade 1930-an, banyak pelarian komunis
yang kembali ke Banten dan mengadakan kontak dengan kelompok jawara dan ulama.
Konsolidasi kekuatan kembali dilakukan. Namun tak lama kemudian, Jepang
menginvasi Hindia Belanda ditahun 1942. Seluruh nusantara, termasuk Banten,
menjadi daerah pendudukan Jepang.
Dimasa pendudukan Jepang, polarisasi kekuatan
dikalangan masyarakat Banten kembali berubah. Kelompok ulama diakomodasi oleh
pemerintah Jepang untuk mengambil hati masyarakat Banten (Suharto,2008).
Beberapa tokoh ulama Banten menjadi pimpinan organisasi militer buatan Jepang,
seperti Peta dan Heiho. Hal ini berlansung seiring dengan politik akomodasi
pemerintah fasis Jepang terhadap kekuatan Islam untuk melawan “imperialis
Barat”.
Disisi lain, kelompok-kelompok kiri dan jawara
tetap mengambil tendensi non-kompromistis terhadap penjajah Jepang. Perlawanan
‘bawah tanah’ tetap dilakukan Tje Mamat dan kawan-kawan. Konsekuensinya, Tje
Mamat dan beberapa kawannya dijebloskan ke penjara oleh Kempetai, polisi
militer Jepang, pada tahun 1944.
Tje Mamat cs baru dibebaskan pasca Proklamasi
kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Pada masa inilah, ketegangan
sosial di Banten dimulai. Ketegangan yang tidak hanya terjadi antara pihak
Jepang dengan kelompok pro-Republik, namun juga antara kelompok pro Republik
dengan kaum sosial revolusioner. Kelompok pro-Republik kebanyakan terdiri dari
kaum ulama dan kelompok pemuda yang menjadi bagian dari jaringan gerakan pemuda
di Jakarta. Sementara kaum sosial revolusioner adalah para kader komunis dan
sebagian jawara, termasuk Tje Mamat.
Ketegangan itu terjadi disebabkan perbedaan
sikap kedua kelompok dalam menghadapi kondisi yang terjadi ketika itu. Kelompok
pro-Republik yang dipimpin para ulama masih toleran dengan para pejabat Pamong
Praja yang menjadi ‘pelayan’ kolonialis Belanda maupun Jepang. Alasannya,
mereka lebih pengalaman dalam urusan administrasi pemerintahan. Sementara,
kelompok revolusioner beranggapan bahwa para pamong praja tidak layak lagi
memimpin rakyat, karena mereka memandang para pamong praja akan menghambat
perlucutan senjata dan pengambilalihan kekuasaan dari pihak Jepang. Selain itu
para pejabat tersebut juga banyak yang ‘lari’ dari Banten pasca
Proklamasi karena takut pada gerakan rakyat. Salah
satu pejabat pamong yang lari dari Banten adalah Residen R.Tirtasuyatna.
Padahal ia telah resmi diangkat sebagai Residen Banten oleh pemerintah Republik
diJakarta. ‘Kabur’nya sang residen menyebabkan terjadi vacuum of power di Banten.
Sementara
para bupati yang tersisa enggan mengambil tanggung jawab sebagai residen.
Situasi itu menyebabkan kelompok ulama yang didukung gerakan pemuda
berinisiatif mengambil alih kekuasaan Banten dengan persetujuan pemerintah RI.
Seorang ulama kharismatik, KH.Akhmad Khatib, diangkat sebagai Residen Banten
pada tanggal 6 Oktober 1945. K.H. Ahmad Khatib ini merupakan salah satu ulama
yang terlibat pemberontakan 1926 bersama kaum komunis. Di masa pendudukan
Jepang, ia diangkat sebagai daidanco Peta
wilayah Banten oleh pemerintah Jepang.
Setelah diangkat menjadi residen, K.H.Ahmad
Khatib tetap mempertahankan para bupati lama pada posisinya masing-masing.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Khatib dan kelompok ulama
berpandangan jika para bupati itu masih dibutuhkan pada masa transisi
kemerdekaan karena lebih menguasai administrasi pemerintahan di daerahnya
Kebijakan Residen itu tidak disukai sebagian
kelompok pemuda dan kaum kiri revolusioner. Mereka menginginkan perombakan
total terhadap para pejabat lama yang tiada lain adalah bekas antek penjajah.
Namun, pihak pemerintah tidak merespon tuntutan ini. Inilah awal dari
ketegangan baru di Banten, sekaligus juga awal dari revolusi sosial di tanah
Banten.
Kaum revolusioner yang terdiri dari kader-kader
PKI, jawara, kaum tani dan rakyat miskin pedesaan mengorganisir diri dalam
suatu organisasi yang bernama “Dewan Rakyat”. Konon, Dewan Rakyat yang dipimpin
Tje Mamat ini mengambil referensi dari dewan rakyat atau Soviet di Rusia ketika
Revolusi Bolshevik berlangsung 1917. Dewan ini didirikan dengan tujuan merebut
kekuasaan demi kedaulatan rakyat yang sejati.
Digunakannya dewan rakyat yang serupa dengan
Soviet sebagai instrumen perebutan kekuasaan memang merupakan sebuah
konsekuensi logis dari besarnya pengaruh kader-kader PKI termasuk Tje Mamat
dalam pembentukan dewan tersebut. Selain itu, pembentukan dewan rakyat juga tak
lepas dari saran Tan Malaka terhadap tokoh-tokoh kiri di Banten agar membentuk
organisasi rakyat yang bertujuan mencapai kemerdekaan rakyat sejati. Dan bukan
rahasia pula bila Tan Malaka adalah sosok yang gandrung pada metode revolusi
Bolshevik 1917, seperti halnya Trostky yang menjadi panutannya. Dia adalah
tokoh yang selalu menolak taktik kompromistis dengan Belanda, seperti yang
kerap dilakukan Syahrir maupun Hatta selama revolusi kemerdekaan (1945-1949).
Kedekatan kader-kader PKI Banten, termasuk Tje Mamat dengan Tan Malaka, diulas
dalam buku Harry A. Poeze yang berjudul Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka
1925-1945.
Revolusi sosial mulai merebak ketika kaum tani
yang diorganisir Dewan Rakyat bergerak merampas harta-harta milik para pejabat
pamong praja, orang-orang Jepang serta Belanda yang masih tersisa. Di beberapa
tempat bahkan terjadi pembunuhan terhadap pejabat pribumi maupun kolonial.
Polisi dan tentara Republik pun tak lepas dari sasaran Dewan Rakyat. Hal ini
disebabkan karena mereka beranggapan bila angkatan perang Republik atau TKR
banyak diisi perwira dan prajurit alumni Peta buatan Jepang.
Setiap pergerakan Dewan Rakyat ini selalu
diiringi dengan slogan-slogan revolusioner semacam ”Rakyat Akan Menjadi Hakim”,
“Satu Untuk Semua” dan “Utang Padi Dibayar Padi, Utang Darah Dibayar
Darah” (Soendji, 1983). Klimaks dari pergerakan mereka terjadi ketika rombongan
Dewan Rakyat dibawah pimpinan Tje Mamat mendatangi karesidenan Banten. Ketika
itu, mereka menuntut Residen K.H. Ahmad Khatib untuk merombak
struktur pemerintahan diBanten yang masih diisi pejabat-pejabat lama untuk
digantikan dengan orang-orang yang dipercaya oleh Dewan Rakyat.
Residen menyetujui keinginan Dewan Rakyat itu.
Residen menyusun ulang sturktur pemerintahan di Banten dari level Bupati hingga
lurah. Intinya, para pejabat ‘warisan’ kolonial dicopot dan digantikan dengan
kaum ulama yang menduduki posisi Bupati hingga lurah. Ulama juga diberi peranan
sebagai pimpinan angkatan perang wilayah Banten.
Pasca perombakan susunan pemerintahan tersebut,
keinginan untuk mellikuidasi kekuatan Jepang makin besar. Seluruh
kekuatan pro-republik merencanakan penyerangan Markas Kempetai Serang pada
tanggal 11 Oktober 1945. Pihak Jepang pun kalah dan terusir dari Serang.
Angkat kakinya Jepang dari Serang merupakan
keberhasilan awal dari revolusi sosial yang digerakkan Dewan Rakyat. Revolusi
berlanjut dengan pembebasan orang-orang yang dipenjarakan oleh Jepang di
Penjara Utama Serang. Puluhan tokoh masyarakat dan Jawara yang dipenjarakan
disana dibebaskan. Sebagai gantinya, beberapa mantan pejabat pamong, orang
Belanda serta priyayi dipenjarakan oleh gerakan rakyat.
Revolusi
menjalar keseluruh wilayah Karesidenan Banten. Dimana-mana terjadi
pergantian pejabat Pamong praja oleh para ulama. Ada proses
pergantian yang berjalan mulus, namun ada juga yang disertai kekerasan. Proses
pemilihan pejabat baru yang didominasi kaum ulama itu dilakukan melalui
rapat-rapat umum (vergadering) yang kebanyakan
diorganisir oleh Dewan Rakyat. Tampak adanya proses demokrasi yang berakar dari
pengorganisiran dan partisipasi rakyat, serupa dengan konsep Demokrasi
Kerakyatan yang menjadi azas dari banyak gerakan kiri diseluruh dunia hingga
kini.
Meskipun pasca revolusi pemerintahan diseluruh
Karesidenan Banten didominasi oleh ulama, namun Dewan Rakyat tetap
memiliki peran yang sentral. Sesuai kesepakatan dengan Residen Banten, Dewan
Rakyat memiliki fungsi Eksekutif (pemerintahan), sementara jabatan
Residen hanya bersifat simbolis. Selain itu, Dewan Rakyat membentuk
lembaga kepolisian sendiri, yang dinamakan Polisi Keamanan Rakyat dan kemudian
dikenal sebagai Polisi Khusus.
Dewan
Rakyat juga memiliki pasukan tersendiri, yang tidak melebur dalam TKR. Pasukan
Dewan Rakyat itu bernama Laskar Gulkut, yang merupakan akronim
dari Gulung Bukut atau “Basmi Pamong
Praja”. Nama ini berkaitan dengan tindakan mereka yang kerap menyerang aparat
pamong praja yang dianggap antek kolonial. Anggota Laskar Gulkut ini kebanyakan
dari kalangan jawara.
Guna
menangani problem ekonomi rakyat, Dewan Rakyat membentuk Dewan Ekonomi Rakyatyang
mengatur distribusi pangan bagi kebutuhan rakyat. Dewan Rakyat mengambil
alih cadangan pangan dari pihak Jepang dan pamong praja serta
membagi-bagikannya langsung kepada rakyat. Seluruh stok pangan yang
selama ini ditimbun oleh pihak berkuasa disita dan dibagikan langsung kepada
rakyat terutama kaum tani miskin. Upaya ini menjadi bagian dari revolusi yang
bertujuan merombak alokasi sumber daya yang tidak adil selama masa
kolonialisme.
Akhir
Revolusi Sosial
Revolusi Dewan Rakyat di Banten ini
menjadi simbol kemenangan rakyat dalam melumpuhkan struktur politik kolonial.
Namun, disisi lain, revolusi ini tidak menghentikan pertentangan dengan kaum
pro-Republik lainnya. Hal ini disebabkan karena Tje Mamat sebagai
pimpinan Dewan Rakyat tidak mengakui Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) sebagai lembaga tertinggi negara karena diisi oleh antek-antek Jepang.
Menurutnya, hanya Dewan Rakyat yang dapat dianggap sebagai manifestasi dari
demokrasi rakyat yang sebenarnya. Banyak pihak, termasuk kaum ulama, yang
menentang pandangan Tje Mamat tersebut.
Pemikiran Tje Mamat yang semacam itu,
juga misi Dewan Rakyat untuk menuntaskan revolusi dengan cara ‘membasmi’
para pejabat lama, mengundang perhatian pemerintah pusat. Bung Karno dan
Bung Hatta pun berkunjung ke Rangkasbitung pada tanggal 10 Desember
1945. Disaat yang sama, pasukan Dewan Rakyat menculik dan membunuh
bekas Bupati Lebak, RT Hardiwinangun. Pembunuhan itu mengakibatkan
pertentangan dengan ulama dan TKR makin menghebat.
Namun, bagi Dewan Rakyat, aksi pembunuhan itu
merupakan penegasan bagi sikap mereka yang menuntut penghukuman terhadap para
mantan pejabat yang kejam pada rakyat dimasa penjajahan dulu.
Pertentangan antara Dewan Rakyat dan TKR pun menjelma menjadi peperangan.
Menyikapi konflik tersebut, pemerintah pusat
berpihak pada kaum ulama dan TKR yang dipandang sebagai wakil sah pemerintah
pusat di wilayah Banten. Pemerintah seperti melupakan peranan dari Dewan Rakyat
yang mempercepat pengambilalihan kekuasaan dari Jepang serta penyalur aspirasi
kaum tani tertindas. Wakil Presiden Mohamad Hatta bahkan menganggap
Dewan Rakyat tidak berguna dan sebaiknya dibubarkan saja.
Penumpasan Dewan Rakyat, yang berarti
penghentian laju revolusi sosial pun dimulai. Pasukan TKR berhasil menangkap
para pemimpin Dewan Rakyat seperti Tje Mamat dan Ali Arkam pada bulan Januari
1946 di Ciomas. Seluruh anggota laskar Gulkut ditangkap dan dilucuti. Dewan
Rakyat pun dibubarkan.
Revolusi sosial di Banten tahun 1945-1946
merupakan salah satu peristiwa perjuangan rakyat yang harus tetap dicatat dalam
lembaran sejarah bangsa. Revolusi tersebut juga memberikan pelajaran penting
bahwasanya konsep-konsep revolusioner, seperti Demokrasi Kerakyatan,
Dewan Rakyat atau Pemerintahan Revolusioner, pernah menjadi bagian tak
terpisahkan dalam revolusi kemerdekaan kita. Semua konsep itu bahkan pernah
teraplikasikan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
(RED/FBB/www.berdikarionline.com)
Post A Comment:
0 comments: